Semakin lama semakin terasa bahwa konformitas seorang pemimpin tidak bisa dilakukan tanpa penerangan, informasi, dan alasan yang riil, Itu pun, kalau tidak masuk dihati, tidak lah pula orang mau menjadi follower.Bila seorang pemimpin sama sekali tidak bisa
‘masuk’ ke dalam komunitasnya sendiri. Padahal, komunitas eksis dan sangat
diperlukan.. Komunitas mempunyai perekat sosial yang berefek ‘magic’ dan bisa
membuat kelompok berkinerja luar biasa.Bagaimana gambaran perilaku pemimpin-pemimpin di lembaga eksekutif kita
di skala Nasional, skala Propinsi dan skala Kabupaten/Kota? Walaupun
jumlahnya kecil saja tapi perilaku sebagaian kecil itu cukup mengganggu
perkembangan masyarakat. Ada yang sudah masuk penjara, ada yang masuk
dalam proses pengadilan dan ada pula yang sudah menjadi tersangka.
Demikian pula perilaku pemimpin-pemimpin pada lembaga legislative di
tingkat Nasional. Propinsi dan Kabupaten/Kota. Mengapa hal itu bisa
terjadi? Mudah-mudahan saja hal ini merupakan penyimpangan sosial kecil
saja, namun demikian harus diwaspadai, siapa tau jadi penyimpangan
besar. Masalahnya memang dalam masyarakat itu sedang terjadi pergeseran
orientasi hidup dari kolektif spiritual menuju individual matrealistik.
Gaya hidup konsumtif, hedonisme dan boros, padahal penghasilan pas-pasan
dan sebagaian besar warga masyarakat masih hidup dibawah garis
kemiskinan.
KOMPAS.com - Dalam krisis ekonomi yang tidak
berkesudahan dan tidak terprediksi ini, masih ada krisis lain, yang
terasa, dibahas, tetapi tidak pernah terangkat ke permukaan dengan
gamblang, yaitu rasa peduli dan sense of belonging. Kita bisa
melihat bahwa memang sudah tercipta jarak antara karyawan dan
perusahaan, antara para pejabat dengan rakyat. Demikian juga, empati
rakyat pun hampir tidak ada terhadap para pemimpinnya. Apa penyebabnya?
Tak jarang kebijakan atau tindakan yang diambil para pemimpin, terutama
di saat krisis, tidak mencerminkan kepedulian pada manusia dalam
kelompok dan pada “komunitas”-nya.Bila perusahaan mengalami
guncangan finansial, hampir pasti yang dilakukan adalah memangkas ongkos
sumber daya manusia untuk mempertahankan laba, misalnya memangkas
fasilitas, menghentikan program pengembangan karyawan, apalagi program
CSR. Akibat tidak langsung terhadap manusia yang menjadi penunjang utama
jalannya ekonomi, perusahaan ataupun lembaga adalah tumpulnya perasaan
dan ketidakpedulian terhadap perasaan orang lain, yang sebenarnya
menjadi perekat penting dalam organisasi. Upaya penyuntikan dana yang
dilakukan untuk membuat perusahaan sehat kembali dan mengembalikan
motivasi karyawan, sering terlihat sia-sia. Perusahaan atau lembaga pemerintah memang perlu melakukan “re-engagement”.
Praktek- praktek manajemen dan kepemimpinan perlu ditinjau kembali.
Para pemimpin, direktur, pejabat negara, saat sekarang kebanyakan duduk
di ruang kerja atau ruang rapat yang mewah, mengumumkan sasaran yang
harus dicapai, menekankan arah perusahaan, tanpa turun ke bawah dan
berusaha menyentuh individu untuk meningkatkan kinerja bawahan. Mereka
seolah duduk di puncak piramida, susah turun dan benar-benar tidak bisa
mengetahui apa yang terjadi di dalam piramida tersebut. Kepemimpinan
bisa membuat mereka seolah terpisah dari bawahan. Bukankan ini suatu
kesalahan yang fatal? Masihkan mempan cara-cara memimpin seperti ini?
Bukan di “puncak”, namun di “tengah”
Kita
tentu perlu bertanya-tanya bila seorang pemimpin sama sekali tidak bisa
masuk ke dalam komunitasnya sendiri. Padahal, komunitas eksis dan
sangat diperlukan. Kita semua tahu betapa Barack Obama berhasil
memenangkan pemilihan presiden melalui kekuatan komunitas yang
dibangunnya dalam waktu yang relatif singkat. Komunitas mempunyai
perekat sosial yang berefek magic dan bisa membuat kelompok berkinerja luar biasa.
Dalam
sebuah pertemuan, seorang CEO bank Syariah, mengemukakan bahwa anak
buahnya diajak bersama-sama menyalurkan zakat pendapatannya, melalui
program CSR perusahaan. Karyawan diminta menyisihkan 20 persen bonusnya
dan ikut menyumbangkannya ke dalam program CSR perusahaan. Kegiatan ini
tidak hanya membuat mereka mudah menyatukan derap langkah, namun
sekaligus memberi kebanggaan karena mereka mampu menjalankan peran
pribadi sekaligus peran sosial dengan seimbang. Dengan demikian,
komunitas mendorong dirinya sendiri untuk peduli terhadap tempat kerja,
teman kerja, dan lingkungan..
Hal yang juga sering terabaikan
adalah situasi komunikasi. Banyak pemimpin yang alih-alih memikirkan
cara komunikasi ke bawah, malah ia sendiri pun mempraktekkan komunikasi
searah dengan nyaman-nyaman saja. Seorang CEO yang menyadari bahwa
birokrasi di perusahaannya sudah sangat menghambat dan menyulitkan,
mengubah seluruh layout kantor menjadi satu bangsal direksi, yang tidak memerlukan privacy
sama sekali, sehingga mereka dengan mudah bisa berinteraksi, satu sama
lain, kalau perlu sedikit berteriak, maupun dengan dirinya. Ia pun
mendorong dihidupkannya kembali komunikasi face to face dan penggunaan papan tulis untuk pencatatan dan reminders.
Seorang
pimpinan yang berada di pusat kelompoknya, tetap harus kuat menggarap
data dan bekerja berdasar fakta. Selain anak buah juga akan terdidik
untuk bekerja secara akurat, ia pun lebih mampu memperbaiki kinerja anak
buahnya dengan cara ini.
Read more ...